MAKALAH KELOMPOK
2 ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN
“EMFISEMA”

DISUSUN
OLEH:
TORIPA ABIDAH (13.1415)
DOSEN:
RADEN
SURAHMAT, S.Kep,.Ns
AKADEMI
KEPERAWATAN PEMBINA PALEMBANG
TAHUN
2014
BAB
I
KONSEP
PENYAKIT
1.1 Definisi Emfisema
BAB
I
KONSEP
PENYAKIT
1.2 Definisi Emfisema
Emphysema
(emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Definisi
emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack
society:
1.
Emfisema merupakan keadaan dimana
alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah
ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).
2.
Emfisema merupakan morfologik
didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari
bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).
3.
Emfisema adalah penyakit obtruktif
kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan
alveoli.(Corwin.2000.435).
4.
Suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack
society 1962).
Emfisema
merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang
udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran
ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu
“bukan termasuk emfisema”. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai
‘overinflation’.
Emfisema
adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan
oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita
mengalami batuk kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan
karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema,
volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena
karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap
didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab
kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
1.3 Anatomi Fisiologi Emfisema
1.2.1 Anatomi

Sumber : http://www.soft-ko.co.cc/2010/10/emfisema_06.html
Paru-paru mempunyai 2
sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri pulmonalis. Darah di
atrium kanan mengair keventrikel kanan melalui katup AV lainnya, yang disebut
katup semilunaris (trikuspidalis). Darah keluar dari ventrikel kanan dan mengalir
melewati katup keempat, katup pulmonalis, kedalam arteri pulmonais. Arteri
pulmonais bercabang-cabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang
masing-masing mengalir keparu kanan dan kiri. Di paru arteri pulmonalis
bercabang-cabang berkali-kali menjadi erteriol dan kemudian kapiler. Setiap
kapiler memberi perfusi kepada saluan pernapasan, melalui sebuah alveolus,
semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula, dan venula menjadi vena.
Vena-vena menyatu untuk membentuk vena pulmonalis yang besar.
Darah
mengalir di dalam vena pulmonalis kembali keatrium kiri untuk menyelesaikan
siklus aliran darah. Jantung, sirkulasi sistemik, dan sirkulasi paru. Tekanan
darah pulmoner sekitar 15 mmHg. Fungsi sirkulasi paru adalah karbondioksida
dikeluarkan dari darah dan oksigen diserap, melalui siklus darah yang kontinyu
mengelilingi sirkulasi sistemik dan par, maka suplai oksigen dan pengeluaran
zat-zat sisa dapat berlangsung bagi semua sel.
1.2.2. Fisiologi
Luas
permukaan paru-paru yang luas, yang hanya dipisahkan oleh membran tipis dari
sistem sirkulasi, secara teoritis mengakibatkan seseorang mudah terserang oleh
masuknya benda asing (debu) dan bakteri yang masuk bersama udara inspirasi.
Tetapi, saluran respirasi bagian bawah dalam keadaan normal adalah steril.
Terdapat beberapa mekanisme pertahanan yang mempertahankan sterilitas ini. Kita
telah mengetahui refleks menelan atau refleks muntah yang me ncegah masuknya makanan atau cairan ke dalam
trakea, juga kerja eskalator mukosiliaris yang menjebak debu dan bakteri
kemudian memindahkannya ke kerongkongan.
Selanjutnya,
lapisan mukus yang mengandung faktor-faktor yang mungkin efektif sebagai
pertahanan, yaitu immunoglobulin (terutama IIgA), PMNs, interferon, dan
antibodi spesifik. Refleks batuk merupakan suatu mekanisme lain yang lebih kuat
untuk mendorong sekresi ke atas sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan.
Makrofag alveolar merupakan pertahanan yang paling akhir dan paling penting
terhadap invasi bakteri ke dalam paru-paru. Makrofag alveolar merupakan sel
fagositik dengan ciri-ciri khas dapat bermigrasi dan mempunyai sifat enzimatik,
Sel ini bergerak bebas pada permukaan alveolus dan meliputi serta menelan benda
atau bakteri. Sesudah meliputi partikel mikroba maka enzim litik yang terdapat
dalam makrofag akan membunuh dan mencernakan mikroorganisme tersebut tanpa
menimbulkan reaksi peradangan yang nyata.
Proses
fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi
menjadi tiga stadium.
1.
Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu
masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru.
2.
Stadium ke dua, transportasi, yang
terdiri dari beberapa aspek :
a. Difusi
gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara
darah sistemik dan selsel jaringan;
b. Distribusi
darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannVa dengan distribusi udara dalam
alveolus-alveolus; dan
c. Reaksi
kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.
3.
Respirasi sel atau respirasi interna
merupakan stadium akhir dari respirasi.
respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan karbon
dioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh
paru-paru.
1.4 Etiologi Emfisema
1. Faktor Genetik
Faktor
genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit
obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis
Elastase-Anti Elastase
Didalam
paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan
jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok
adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi
saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya
lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas
pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak
adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Polutan
industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian
emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial
Ekonomi
Emfisema
lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan
ekonomi yang lebih jelek.
1.5 Manifestasi Klinis Emfisema
Emfisema
paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit
bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.Pada
umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi
paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun
terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun
sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia
. gejala lain juga timbul yaitu sebagai berikut :
Dispnea
·
Pada inspeksi : bentuk dada “ burrel
chest”
·
Pernafasan dada , pernafasan abnormal
tidak efektif , dan penggunaan otot – otot aksesori pernafasan (sternokleidomastoid )
·
Pada perkusi : hiperesonans dan
penurunan fremitus pada seluruh bidang paru .
·
Pada aukultasi : terdengar bunyi nafas dengan krekels , ronkhi ,dan
perpanjangan ekspirasi
·
Anoreksia , penurunan berat badan , dan
kelemahan umum
Distensi vena leher selama ekspirasi.
1.6 Patofisiologi/ Pathway Emfisema
1.5.1
Patofisiologi
Emfisema
merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan
menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu
akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya
kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2.
Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi
dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. (Brasher,L valentina.2007)
Pada
saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus
yang disebut blebsdan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses
ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang
tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan
ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika
hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan
bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada
emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru
yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa
1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru.
Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim
proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan
keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan
berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas.
Asap
rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang
aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator
terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan
jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal
terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu
yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan
yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada
orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan
paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.
Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak
yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak,
akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan
tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan
paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat
bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara
dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan
demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari
alveolus.
1.5.2
Pathway

1.6 Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Emfisema
Sinar
x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama
periode remisi (asma). (Patel,Pradip.2006)
Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan
penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi, mis., bronkodilator.
TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan
kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema.
Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
Volume residu: meningkat pada emfisema,
bronkitis kronis, dan asma.
FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
GDA: memperkirakan progresi proses penyakit
kronis
h.Bronkogram: dapat
menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada
ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronchitis.
JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat
(emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan
untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
Sputum: kultur untuk menentukan adanya
infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui
keganasan atau gangguan alergi
EKG: deviasi aksis kanan, peninggian
gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P
pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
EKG latihan, tes stres: membantu dalam
mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan. (Djojodibroto,R Darmanto.2009)
1.7
Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi pada saluran
pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran
nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
BAB 2
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Aktivitas/Istirahat
Pengajian merupakan tahap awal dan landaan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu: pengumpulan data,
pengelompokan data, dan perumusan diagnosis keperawatan (lismidar,2007).
Gejala
:
·Keletihan,
kelelahan, malaise
·Ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas
·Ketidakmampuan
untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
·Dispnea
pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan
Tanda
:
·
Keletihan, gelisah, insomnia
·Kelemahan
umum/kehilangan massa otot
2.1.2 Sirkulasi
Gejala
: Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda
:
·
Peningkatan tekanan darah, peningkatan
frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher
·
Edema dependen, tidak berhubungan dengan
penyakit jantung
·
Bunyi jantung redup (yang berhubungan
dengan peningkatan diameter AP dada
·
Warna kulit/membran mukosa: normal atau
abu-abu/sianosis
·
Pucat dapat menunjukkan anemia
2.1.3. Makanan/Cairan
Gejala
:
-
Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia
(emfisema)
-
Ketidakmampuan untuk makan karena
distres pernapasan
-
Penurunan berat badan menetap
(emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan
edema (bronkitis)
Tanda
:
·Turgor
kulit buruk, edema dependen
·Berkeringat,
penuruna berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)
·Palpitasi
abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis)
2.1.4. Hygiene
Gejala
: Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehari-hari
Tanda
: Kebersihan, buruk, bau badan
2.1.5. Pernafasan
Gejala
:
·Nafas
pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan,
·Ketidakmampuan
untuk bernafas (asma)
·“Lapar
udara” kronis
·Bentuk
menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum
(hijau, putih dan kuning) dapat banyak sekali (bronkitis kronis)
·Episode
batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat
terjadi produktif (emfisema)
·Riwayat
pneumonia berulang: pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang
(mis., rokok sigaret) atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu bara, serbuk
gergaji)
·Faktor
keluarga dan keturunan, mis., defisiensi alfa-anti tripsin (emfisema)
·Penggunaan
oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda
:
·Pernafasan:
biasanya cepat, dapat lambat, penggunaan otot bantu pernapasan
·Dada:
hiperinflasi dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal
·Bunyi
nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau
krekels, ronki, mengi sepanjang area paru.
·Perkusi:
hiperesonan pada area paru
·Warna:
pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku.
2.1.6. Keamanan
Gejala
:
·Riwayat
reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan
·Adanya/berulangnya
infeksi
·Kemerahan/berkeringat
(asma)
2.1.7. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
2.1.8. Interaksi sosial
Gejala
: Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, ketidakmampuan
membaik/penyakit lama
Tanda
:
·Ketidakmampuan
untuk/membuat mempertahankan suara pernafasan
·Keterbatasan
mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu.
2.1.9. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: Penggunaan/penyalahgunaan obat
pernapasan, kesulitan menghentikan merokok, penggunaan alkohol secara teratur,
kegagalan untuk membaik.
2.2 Diagnosa keperawatan
·Kerusakan
pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
·Pola
pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir,
bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
·Defisit
perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan
upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
·Intoleran
aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.
·Koping
individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.
·Defisit
pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.
2.3 Entervensi
dan Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Kus Irianto.2004.216. Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
Mills,John& Luce,John M.1993.
Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Sepesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela :
Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE
lismidar,2007. Pedoman Diagnosis dan Terapi.Surabaya : RSUD Dr.Soetomo
Nurhayati.2014.(online).
http://ksupointer.com/2014/emfisema-bisa- pada tanggal 19 November 2010
Robbins.1994.253.Keperawatan Medikal
Bedah.Jakarta.EGC
Brasher,L valentina.2007.Aplikasi klinis patofisiologi.Jakarta.EGC
Djojodibroto,R Darmanto.2009.Respirologi (Respiratory Madicine).Jakarta.EGC
Patel,Pradip.2006.Radiologi.Jakarta.Erlangga
Corwin.2000.435.Askep dgn Gangguan sistem nafas.jakarta.salemba medika
timbulkan-kematian. diakses pada
tanggal 25 September 2014
Flyfreeforhelp.2014.(online). http://lifestyle.okezone.com/read/2014/09/25/27/306051/search.html.
diakses pada tanggal 24 september 2014
……,2014.(online).http://www.soft-ko.co.cc/2014/09/emfisema_06.html.
diakses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar